Sabtu, 01 April 2017

MENCEGAH SELINGKUH

Banyak orang berkata, pacaran lama tidak menjamin rumah tangga akan adem ayem, damai - tenang.... apalagi pacaran yang cuma sebentar, atau pacaran jarak jauh, di mana kedua belah pihak akan berusaha untuk terlihat baik, mempesona, dan cenderung menutupi kekurangan / kelemahan / kebiasaan buruk masing-masing.
Dalam hal ini, kami baru berkenalan di tempat kerja pada September 1995, pacaran putus -sambung hanya sekitar 1 tahun, sebelum bertunangan di akhir Desember 1996. 
Dengan rentang waktu sependek itu pun, ada hubungan jarah jauh (Long Distance Relationship) sejak April 1996 karena Koko pindah kerja ke Jakarta.
Jadi, kami hanya bertemu di Bandung mulai Sabtu siang sampai malam, lanjut Minggu siang sampai sore. 
Hari-hari di luar itu hanya komunikasi via telepon. Biasanya dia menelepon dari wartel (warung telekomunikasi) ke fixed line di warung kami. Jika kebetulan saya ada dekat telepon, bisa langsung ngobrol. Tetapi bila tidak, maka dia akan titip pesan kepada Penerima Telepon, misalnya "akan telepon lagi besok jam 7 malam" .... jadi sesuai waktu yang disampaikan, saya akan stand by menunggu telepon. Kebayangkan ... begitu banyak keterbatasan.... banyak kangen yang tidak bisa diobati, tidak bisa apa-apa! 
Suatu hari, keluarga besar saya geger. Rumah tangga saudara sepupu saya yang sudah menikah cukup lama sedang dilanda prahara, di ambang perceraian. Sang istri dan 2 anak mereka, tinggal di Bandung, sedangkan suami bekerja di Jakarta dan pulang seminggu sekali. Suaminya baru 30 tahunan, ganteng seperti bintang film, berbadan cukup atletis, mempunyai jabatan cukup tinggi dan penghasilan besar di perusahaan ngetop, juga ramah - mudah bergaul.
Jadi, tidak aneh jika banyak wanita suka padanya, meskipun dia sudah beristri dan punya 2 anak.
Digoda terus-menerus oleh wanita lain, akhirnya dia "jatuh" juga ... berselingkuh dan sekarang dituntut bertanggung-jawab!
Yang mengejutkan, sebagian besar keluarga besar saya menyalahkan sang istri!
Sudah tahu punya suami yang "bernilai tinggi", koq dibiarkan sendirian di Jakarta.
Sang istri disalahkan karena selama ini bersikeras tinggal di Bandung.
Alasannya sih ... dia tidak betah di Jakarta yang panas, sumpek, macet, mau ke mana-mana jauh! 
Belum lagi, di Bandung sangat banyak saudara dan teman untuk hidup bersosial dengan nyaman. 
Jika dipaksakan tinggal di Jakarta, dia merasa akan stress berat.
Dan sekarang ... keputusannya itu tetap membuat dia stress berat ... dengan penyebab yang berbeda!
 
Kejadian ini, membuka pikiran saya. Meskipun tunangan saya bukan seorang yang ganteng, tidak berbadan atletis, tidak punya jabatan tinggi, penghasilan juga sedang-sedang saja .... tetapi dia layak dipertahankan. 
Di saat pria lain kuatir saya tidak bisa memberikan keturunan, dia tidak mempermasalahkan hal itu.
Katanya, anak itu pemberian Tuhan. Kalau Tuhan mau kasih, pasti bisa (punya anak).
Seandainya tidak, masih banyak pasangan lain yang bernasib seperti itu dan tetap bisa bahagia.
Di saat pria-pria menginginkan pacaran yang romantis - mesra - ada peluk dan cium, dia malah harus ekstra sabar, penuh pengertian, menghadapi saya yang mudah marah besar hanya karena dipegang tangan.
Padahal pacar sebelumnya adalah seorang peragawati, lalu seorang pramugari, yang kebetulan punya gaya hidup bebas.
Sekarang, pria ini malah harus repot meyakinkan saya bahwa dia bukan "pria brengsek lain" yang akan menyebabkan saya trauma kembali. (cerita lengkapnya ada di www.ayamrajawali.blogspot.co.id/2017/03/trauma-berat.html

Saya memutuskan untuk membeli koran KOMPAS setiap Sabtu, mencari lowongan pekerjaan bidang konstruksi di Jakarta. (saat itu belum ada internet, ya! Belum ada lowongan kerja online)
Puji Tuhan, tidak perlu waktu lama, saya diterima di ECH, sebuah konsultan asing.
Meskipun saya tidak pandai berbahasa Inggris, Direktur yang mewawancara saya "tertarik" dengan pengalaman kerja saya. Meskipun masih mahasiswi, saya sudah nyambi jadi pengawas mandor dan tukang di proyek yang tadinya tempat Kuliah Kerja Nyata, naik menjadi Site Engineer di proyek luar kota, dan hanya 13 bulan naik lagi menjadi Asisten Project Manager (cerita lengkapnya ada di www.ayamrajawali.blogspot.co.id/2017/03/merangkak-meniti-karier.html )

Awal Mei 1996, saya mulai bekerja di tempat baru, di Jakarta.
Meskipun kantor dan tempat kost saya di Pondok Indah - Jakarta Selatan, sedangkan kantor dan tempat tinggal Koko di daerah Kelapa Gading - Jakarta Utara, perbedaan jarak ini tetap lebih baik daripada Bandung - Jakarta. 
Mengenai kenyataan bahwa Jakarta itu panas, sumpek, macet, penduduknya tidak seramah orang-orang di Bandung, juga sekarang jauh dari saudara dan keluarga .... ya dijalani saja.
Bukankah hidup adalah pilihan?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar