Selasa, 28 Februari 2017

TERBAIK … MENURUT SIAPA ?

Kalau dipaksa harus tinggal di sini … sama saja tinggal di kuburan… bakal cepat mati.

Saya terbiasa memanggil ayah saya : Papi.
Papi lahir Februari tahun 1931. Ia lulusan Sekolah Rakyat (sekarang setara dengan Sekolah Dasar) dan bekerja sebagai teknisi mesin di pabrik tekstil. Tentu saja pekerjaan ini membuat Papi terbiasa dengan suara bising mesin. Baginya, mesin yang tidak bersuara, atau suaranya tidak seperti biasanya, berarti ada masalah!


Berisik selanjutnya adalah lingkungan kumuh tempat kami tinggal.
Di belakang rumah kami ada sungai / kali selebar + 3 meter.  Di depan dan samping kanan rumah ada gang / jalan kecil yang hanya bisa dilalui becak. Selain itu, masih banyak jalan yang lebih kecil di area ini, yang hanya bisa dilalui sepeda atau pejalan kaki. Nah, semua jalan ini terhubung satu sama lain, berfungsi juga sebagai tempat jemuran, tempat bermain, tempat parkir motor, juga wadah Ibu-Ibu nge-rumpi.
Tentu saja, music adalah bagian dari hiburan warga. Kadang dangdut, kadang campur sari, kadang music rock (pemuda tetangga), kadang juga lagu Ebiet G Ade atau lagu Iwan Fals….. Yang bikin seru, jika ada dua tetangga yang ngotot dengan music favoritnya masing-masing, lalu mereka adu keras. 


Saat semua suara-suara itu hilang, yang tersisa adalah suara air sungai di belakang rumah.
Jika musim kemarau, suaranya tidak seberapa karena terhambat sampah-sampah yang menumpuk. Maklum, sungai ini merangkap septic tank dan juga bak sampah.
Saat musim penghujan tiba, sungai ini bergemuruh, bikin deg-degan …. Takut banjir masuk ke dalam rumah. Kalau cuma banjir di gang … no problem


Tahun 1990, papi mami pindah ke warung di pinggir jalan yang bisa dilalui mobil.

Suara air sungai berganti dengan suara lalu lalang mobil dan motor yang hampir 24 jam. 
Di sini sering ada live music … pemuda-pemudi (sebagian pengangguran / tukang parkir) bernyanyi-nyanyi diiringi gitar sampai larut malam. Kadang diselingi dengan minum-minum, atau nge-lem (menghirup lem Aibon yang baru dibuka dari kemasannya --- bikin fly)
Bersama pesatnya pertumbuhan penduduk di kawasan ini, semakin bertambah preman, pemabuk, pengedar narkoba, uang palsu dan juga PSK. Kejadian pencurian, perampokan, perkelahian adalahan hal yang lumrah. Beberapa kali terjadi orang mati karena Over Dosis ataupun kecelakaan karena “sedang tidak fit”.

Sesudah saya menikah di tahun 1997, tinggal di Bekasi, di rumah kontrakan s.d. Juni 2004, dan akhirnya bisa nyicil rumah sendiri, saya bercita-cita untuk punya rumah di Bandung supaya orang tua bisa tinggal dengan layak.


Agustus 2008, saya dan mami membeli 1 rumah di Mekar Wangi. Mami yang siapkan uang mukanya dan saya yang bayar cicilan KPR-nya. Rumah ini terletak di cluster paling ujung, langsung berbatasan dengan kawasan hijau jalan tol. Kawasan ini damai dan tenang. Fasilitas cukup lengkap, ada Supermarket, ruko-ruko yang menjual makanan, tempat ibadah, aksesnya dekat pintu tol, juga dekat dengan rumah adik saya di Taman Kopo Indah.


Sesudah rumah ini semi full furnished, kami bawa papi ke situ. Kesan pertama: papi sumringah, ia berkeliling jalan kaki menikmati cluster dengan ekspresi kagum + bangga. Tetapi baru beberapa jam diam di rumah baru ini, Papi minta pulang.
Waktu kami jelaskan bahwa Papi Mami akan tinggal di sini, Papi langsung menolak. 

Sesudah dibujuk-bujuk dengan segala argumentasi, Papi akhirnya menjawab Kalau Papi dipaksa tinggal di sini … sama saja nyuruh Papi tinggal di kuburan… Papi ngga bisa hidup seperti ini, bakal cepat mati saking bosannya! ….Gubrak deh….

Sore itu kami kembali ke warung merangkap rumah yang hingar-bingar itu. 

Papi kembali duduk di kursi kayunya, kursi butut yang lebih tua dari anaknya, sambil merokok dan minum kopi. Kadang dia mennyalakan radio / memutar kaset lagu-lagu lama dengan suara keras. Ia dengan ceria melihat orang lalu lalang, menyapa orang-orang yang Papi kenal, beberapa diajak ngobrol ngalor-ngidul.  Inilah dunia-nya !

Kadang kita berpikir kita tahu yang terbaik untuk orang yang dekat dengan kita, tetapi apakah kita memahami hatinya?  Apakah kita mau mengerti keputusannya? 

Apakah kita bisa mengalah dan menerimanya?
 

By the way, di usianya yang ke 86, Papi masih hidup di rumah dan lingkungan yang dicintainya itu...  Dalam hal ini… hati dan perasaan tidak terkalahkan, meski mami terpaksa mengalah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar