Jumat, 10 Februari 2017

MENYESAL KARENA KETAHUAN

Awal November 2016 lalu, kami memasarkan rumah ketiga kami. 

Satu sore, seorang wanita paruh baya datang untuk melihat bagian dalam rumah tersebut. Sesudah dia melihat-lihat, dia optimis dan yakin bahwa keponakannya yang sedang mencari rumah akan cocok dengan rumah tersebut. Dia akan kabari keponakannya itu jika kami bersedia memberi dia fee 1%. Saya langsung ilfeel, maksud hati ingin menjualnya sendiri, eh dapat broker.

Ternyata keponakannya jatuh cinta dengan rumah kami itu, dia menawar harga dengan semangat, menelepon kami hampir setiap hari, minta harganya turun terus karena dia akan membelinya secara KPR - cicilan 10 tahun dan uang mukanya dibantu oleh saudara kandungnya. Di sisi lain broker yang juga Bibi (her Aunt) ini mentok di Rp 5,5 juta sebagai uang jasa mengenalkan keponakannya.

Satu malam, keponakan ini, bersama Ibunya, calon suaminya, juga adik bungsunya mendesak datang ke rumah kami, malam-malam, Dia memelas minta harganya dikurangi lagi. Kasihan... saat itu saya sudah tidak tahan dan saya jelaskan bahwa kami ingin membantu mereka, tetapi ada fee besar yang tidak bisa ditawar lagi. Mereka sangat terkejut dan kecewa mendengar "rahasia" tersebut. 

Karena harga rumah sudah fixed Rp 590 juta, kami tawarkan kemudahan: bayar tanda jadi Rp 10 juta saja, proses KPR boleh lebih dari 1 bulan, dan bila mereka gagal mendapatkan KPR, maka uang tanda jadi akan dikembalikan utuh dalam waktu 3 hari kerja. Kunci rumah pun boleh diambil meskipun rumah belum lunas. Malam itu, kami pun deal.

Tidak lama kemudian, Broker itu telepon suami saya, dia protes karena saudaranya tahu jika dia minta fee, "Saya kan jadi tidak enak hati ke adik saya, juga ke keponakan." 
Hm ... sebuah ironi...dia tidak segan untuk melaba saudaranya sendiri dan baru merasa tidak enak hati karena ketahuan. Sadarkah dia bahwa fee-nya itu lebih dari cukup untuk membayar 1 bulan cicilan rumah keponakannya sendiri??

Puji Tuhan, 03 Januari 2017 lalu, Akad Kredit bisa dilaksanakan. Mereka dapat pinjaman KPR Rp 400 juta, cicilan 10 tahun.


Kejadian ini, mengingatkan saya kejadian 4 tahun lalu (silakan baca kisah: Fitnah di Kantor).



Satu staf saya menjadi informan untuk Manager XY, yang digosipkan akan menggantikan posisi saya. Staf ini dijanjikan akan diterima pindah ke team XY karena team saya akan "dibersihkan". Selain itu, ada janji tambahan jika Manager XY mendapat COP (Car Ownership Program) mobil baru karena promosi jabatan, maka XY akan melobby Management untuk hand over COP mobil lama-nya kepada informan ini. 

Untungnya, percakapan tersebut berhasil direkam oleh staf lain dan diperdengarkan ke saya.


Staf ini pun menyesal, karena :
  1. Ternyata atasannya yang sekarang tetap di posisi semula,
  2. Ternyata calon atasan yang baru, Manager XY, tidak jadi promosi jabatan
  3. Dia tidak jadi dapat mobil lungsuran.
Pengakuan yang polos, bukan?

Ada kejadian lain lagi, tetangga saya berselingkuh dan ketahuan oleh suaminya. Saat itu, mereka saling memaafkan. Sayangnya, beberapa bulan kemudian, Ibu ini berselingkuh lagi dengan pria yang berbeda dan kali ini suaminya menceraikan dia. Saat saya bertemu dengannya,  ia curhat, menyesal karena ... ketahuan. Lho? 
 
Ketiga kejadian ini, mengajarkan saya mengenai motivasi penyesalan.
Betapa baiknya jika kita menyesal karena sadar jika itu sebuah kesalahan, bukan karena alasan lain. 
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar