Kalau dipaksa harus tinggal di sini … sama saja tinggal di kuburan… bakal cepat mati.
Saya terbiasa memanggil ayah saya : Papi.
Papi lahir Februari tahun 1931. Ia lulusan Sekolah Rakyat (sekarang setara dengan Sekolah Dasar) dan bekerja sebagai teknisi mesin di pabrik tekstil. Tentu saja pekerjaan ini membuat Papi terbiasa dengan suara bising mesin. Baginya, mesin yang tidak bersuara, atau suaranya tidak seperti biasanya, berarti ada masalah!
Berisik selanjutnya adalah lingkungan kumuh tempat kami tinggal.
Di belakang rumah kami ada sungai / kali selebar + 3 meter. Di depan dan samping kanan rumah ada gang / jalan kecil yang hanya bisa dilalui becak. Selain itu, masih banyak jalan yang lebih kecil di area ini, yang hanya bisa dilalui sepeda atau pejalan kaki. Nah, semua jalan ini terhubung satu sama lain, berfungsi juga sebagai tempat jemuran, tempat bermain, tempat parkir motor, juga wadah Ibu-Ibu nge-rumpi.
Tentu saja, music adalah bagian dari hiburan warga. Kadang dangdut, kadang campur sari, kadang music rock (pemuda tetangga), kadang juga lagu Ebiet G Ade atau lagu Iwan Fals….. Yang bikin seru, jika ada dua tetangga yang ngotot dengan music favoritnya masing-masing, lalu mereka adu keras.
Saat semua suara-suara itu hilang, yang tersisa adalah suara air sungai di belakang rumah.
Jika musim kemarau, suaranya tidak seberapa karena terhambat sampah-sampah yang menumpuk. Maklum, sungai ini merangkap septic tank dan juga bak sampah.
Saat musim penghujan tiba, sungai ini bergemuruh, bikin deg-degan …. Takut banjir masuk ke dalam rumah. Kalau cuma banjir di gang … no problem.
Tahun 1990, papi mami pindah ke warung di pinggir jalan yang bisa dilalui mobil.
Suara air sungai berganti dengan suara lalu lalang mobil dan motor yang hampir 24 jam.
Di sini sering ada live music … pemuda-pemudi (sebagian pengangguran / tukang parkir) bernyanyi-nyanyi diiringi gitar sampai larut malam. Kadang diselingi dengan minum-minum, atau nge-lem (menghirup lem Aibon yang baru dibuka dari kemasannya --- bikin fly).
Bersama pesatnya pertumbuhan penduduk di kawasan ini, semakin bertambah preman, pemabuk, pengedar narkoba, uang palsu dan juga PSK. Kejadian pencurian, perampokan, perkelahian adalahan hal yang lumrah. Beberapa kali terjadi orang mati karena Over Dosis ataupun kecelakaan karena “sedang tidak fit”.
Sesudah saya menikah di tahun 1997, tinggal di Bekasi, di rumah kontrakan s.d. Juni 2004, dan akhirnya bisa nyicil rumah sendiri, saya bercita-cita untuk punya rumah di Bandung supaya orang tua bisa tinggal dengan layak.
Agustus 2008, saya dan mami membeli 1 rumah di Mekar Wangi. Mami yang siapkan uang mukanya dan saya yang bayar cicilan KPR-nya. Rumah ini terletak di cluster paling ujung, langsung berbatasan dengan kawasan hijau jalan tol. Kawasan ini damai dan tenang. Fasilitas cukup lengkap, ada Supermarket, ruko-ruko yang menjual makanan, tempat ibadah, aksesnya dekat pintu tol, juga dekat dengan rumah adik saya di Taman Kopo Indah.
Sesudah rumah ini semi full furnished, kami bawa papi ke situ. Kesan pertama: papi sumringah, ia berkeliling jalan kaki menikmati cluster dengan ekspresi kagum + bangga. Tetapi baru beberapa jam diam di rumah baru ini, Papi minta pulang.
Waktu kami jelaskan bahwa Papi Mami akan tinggal di sini, Papi langsung menolak.
Sesudah dibujuk-bujuk dengan segala argumentasi, Papi akhirnya menjawab “Kalau Papi dipaksa tinggal di sini … sama saja nyuruh Papi tinggal di kuburan… Papi ngga bisa hidup seperti ini, bakal cepat mati saking bosannya!” ….Gubrak deh….
Sore itu kami kembali ke warung merangkap rumah yang hingar-bingar itu.
Papi kembali duduk di kursi kayunya, kursi butut yang lebih tua dari anaknya, sambil merokok dan minum kopi. Kadang dia mennyalakan radio / memutar kaset lagu-lagu lama dengan suara keras. Ia dengan ceria melihat orang lalu lalang, menyapa orang-orang yang Papi kenal, beberapa diajak ngobrol ngalor-ngidul. Inilah dunia-nya !
Kadang kita berpikir kita tahu yang terbaik untuk orang yang dekat dengan kita, tetapi apakah kita memahami hatinya? Apakah kita mau mengerti keputusannya?
Apakah kita bisa mengalah dan menerimanya?
By the way, di usianya yang ke 86, Papi masih hidup di rumah dan lingkungan yang dicintainya itu... Dalam hal ini… hati dan perasaan tidak terkalahkan, meski mami terpaksa mengalah.
Selasa, 28 Februari 2017
SERBA KEBETULAN
20 Februari 2017, tiba-tiba muncul keinginan untuk mengadakan nampan perjamuan bagi Gereja-Gereja kecil di luar pulau Jawa. Saya buka-buka catatan …. hm … terakhir kali adalah Maret 2016, 2 set saja.
Awalnya, saya berencana untuk Sulawesi, tetapi Pendeta yang bersangkutan tidak ada di tempat. Lalu saya menghubungi Pendeta lain di Nusa Tenggara Timur.
Dia menjawab lewat WA : “Kalau ini (nampan perjamuan) banyak yang perlu. Kalau ada, nanti saya bawa karena kebetulan saya ada di Jakarta. Saya dikirimi jemaat (di Jakarta) untuk ikut pemakaman Jemaat Senior (di Gereja lama tempat dia menjadi Pekerja selama bertahun-tahun, sebelum pergi keluar Jawa)”
Saat saya menghubungi supplier (penjual online), kebetulan barangnya ready stock dan lebih murah Rp 55.000,-/set. Jadi, ada dana lebih untuk tambah kantong kolekte... Lumayan.
Supplier ini tempat usahanya di luar kota Jakarta, sekitar Gunung Putri.
Ia mengirimnya via JNE pada 21 Feb 2017, dan memberi informasi : “ 2 – 3 hari (sampai)” dilampirkan foto bukti ongkos kirim 8 kg = Rp 72.000,-
Di luar dugaan, 22 Feb 2017 siang, hanya 1 hari sejak dikirim, paket itu sudah saya terima.
Kebetulan ada jadwal pengiriman, jadi kiriman tiba lebih cepat.
Kebetulan, Pendeta ini menginap di Gereja yang berlokasi dekat kantor suami saya di Kelapa Gading. Jadi tanggal 23 pagi, sambil menuju kantor, suami bisa mampir dan menyerahkan 6 set nampan perjamuan dan 4 kantong kolekte.
Kebetulan barang bawaan (pulang)nya tidak banyak, jadi batas bagasi 20 kg masih memadai.Jadi, dia kembali ke Rote sesuai schedule, bersama barang-barang tersebut.
Hm … kebetulan yang terus menerus atau .....ada Hal lain di atas segala kebetulan.
Awalnya, saya berencana untuk Sulawesi, tetapi Pendeta yang bersangkutan tidak ada di tempat. Lalu saya menghubungi Pendeta lain di Nusa Tenggara Timur.
Dia menjawab lewat WA : “Kalau ini (nampan perjamuan) banyak yang perlu. Kalau ada, nanti saya bawa karena kebetulan saya ada di Jakarta. Saya dikirimi jemaat (di Jakarta) untuk ikut pemakaman Jemaat Senior (di Gereja lama tempat dia menjadi Pekerja selama bertahun-tahun, sebelum pergi keluar Jawa)”
Saat saya menghubungi supplier (penjual online), kebetulan barangnya ready stock dan lebih murah Rp 55.000,-/set. Jadi, ada dana lebih untuk tambah kantong kolekte... Lumayan.
Supplier ini tempat usahanya di luar kota Jakarta, sekitar Gunung Putri.
Ia mengirimnya via JNE pada 21 Feb 2017, dan memberi informasi : “ 2 – 3 hari (sampai)” dilampirkan foto bukti ongkos kirim 8 kg = Rp 72.000,-
Di luar dugaan, 22 Feb 2017 siang, hanya 1 hari sejak dikirim, paket itu sudah saya terima.
Kebetulan ada jadwal pengiriman, jadi kiriman tiba lebih cepat.
Kebetulan, Pendeta ini menginap di Gereja yang berlokasi dekat kantor suami saya di Kelapa Gading. Jadi tanggal 23 pagi, sambil menuju kantor, suami bisa mampir dan menyerahkan 6 set nampan perjamuan dan 4 kantong kolekte.
Kebetulan barang bawaan (pulang)nya tidak banyak, jadi batas bagasi 20 kg masih memadai.Jadi, dia kembali ke Rote sesuai schedule, bersama barang-barang tersebut.
Hm … kebetulan yang terus menerus atau .....ada Hal lain di atas segala kebetulan.
Senin, 20 Februari 2017
DARI PINGGIR KALI KE RUMAH REAL ESTATE
APAPUN DIPERJUANGKAN UNTUK ANAK-ANAK
Hari ini, 20 Februari, mami berulang tahun yang ke 73. Di usia
senjanya masih enerjik, naik angkutan umum / ojek ke mana-mana, naik bus Bandung
- Bekasi, menerima orderan menjahit pakaian, menjaga warung, juga menerima
titipan cucu-cucunya.
Mami lahir di tahun 1944, sebagai anak ke-10.
Sesudah drop out kuliah di tahun pertama, karena keterbatasan biaya, mami
bekerja di Apotik.
Sesudah menikah di tahun 1972 dan dikarunia 2 orang
anak yang beda usia hanya 17 bulan, mereka tinggal di mess karyawan pabrik
tekstil, tempat papi bekerja sebagai teknisi mesin. Untuk mencukupi kebutuhan
hidup, mami membuat kue dan menjualnya kepada karyawan di pabrik.
Sesudah kakek meninggal, kami pindah ke rumah bekas
Kakek di pinggir kali. Aksesnya berupa jalan kecil yang hanya bisa dilalui
becak. Ada banyak jalan kecil yang saling terhubung dan berfungsi juga sebagai
tempat jemuran, tempat bermain, tempat parkir motor tamu, juga tempat Ibu-Ibu
cari kutu rambut. Semua rumah berhimpitan, tidak ada yang punya septic tank.
Di tempat itulah, saya dan adik lelaki saya
bertumbuh sejak batita.
Meskipun
begitu, Mami tidak menyerah dengan keadaan.
Untuk mencukupi kebutuhan hidup dan membayar uang sekolah, mami
membuat es mambo dan sambil berangkat sekolah, kami mampir ke sekolah sekolah
lain untuk menitipkan dagangan. Saat pulang sekolah, kami mampir lagi untuk
mengambil uang hasil penjualan es hari itu dan membawa pulang termosnya. Hal
yang menyedihkan adalah saat musim hujan di mana termos-termos itu masih
berat karena kurang laku.
Sepulang sekolah, saya dan adik membantu mami memasukkan buah
papaya, nanas dan bengkuang yang sudah dipotong kecil-kecil ke dalam plastic es
mambo. Dari setiap plastic yang terisi, kami mendapat upah dan dituliskan ke
buku kecil. Seminggu sekali, upah tersebut diuangkan dan mami mengantar kami
berjalan kaki ke BTN untuk menyetorkannya. Nilai nominal-nya tidak seberapa,
tetapi mami selalu mengingatkan bahwa uang itu diperlukan untuk masuk SMP
kelak.
Saat hari raya, baik Natal ataupun Lebaran, mami menerima pesanan
kue kering dan cake buah-buahan / cake pelangi. Jika ada kue yang gagal, maka
itu untuk dimakan sendiri. Konyolnya, kami sebagai anak-anak yang belum
mengerti untung-rugi, malah merasa senang-bisa kebagian kue.
Mami pun menerima jahitan baju dan saya kebagian tugas pasang
kancing. Sesudah lebih besar, saya membantu juga menjahit lipatan baju.
Mami mengajarkan kami untuk tidak merasa malu dengan keadaan, selama
perbuatan kita baik di mata Tuhan. Tidak usah malu untuk pergi pulang sekolah
dengan berjalan kaki. Untuk bersuka cita saat menerima baju-baju layak pakai.
Mami selalu mengingatkan bahwa kita tidak miskin, karena masih banyak orang
yang bahkan tidak punya rumah, tidak bisa makan.
Saat kami dibully karena menjadi keluarga keturunan Cina
satu-satunya di kawasan tersebut, mami bilang, "Kita tidak bisa memilih
lahir sebagai orang apa. Jadi, biarkan saja ... tidak usah dipikirin."
Meskipun mami sibuk membantu papi mencari nafkah, mami mendidik
kami dengan sangat disiplin. Sejak bangun tidur, sudah ada jadwal kegiatan. Jam
berapa harus mandi, jam berapa harus berangkat mengantar es. Pulang sekolah
harus langsung ganti baju, makan siang, lalu tidur siang. Ada jam khusus
belajar dan jam 9 malam harus sudah tidur.
Kadang kami diberi waktu untuk bermain-main dengan tetangga
(lompat tali, petak umpet, masak-masakan dari tanah, galah panjang, benteng-bentengan).
Jika keasyikan sehingga pulang kesorean, lewat jam mandi sore, siap-siap
disabet lidi di paha.
Di sisi lain, mami adalah pribadi yang kreatif. Saat hanya ada
nasi, kerupuk dan kecap, mami akan "memodifikasi" makanan itu menjadi
bola-bola nasi dan menyuapi kami. Jika ada rejeki lebih, mami membeli abon dan
menaruhnya sedikit-sedikit di dalam bola-bola nasi. Dan, makanan ini pun
menjadi spesial. Senangnya....
Ketika papi kena PHK karena masuk usia pensiun, mami sibuh mencari
warung kecil yang bisa disewa murah. Saat itu, tangan mami sudah kaku karena terlalu
sering dan bertahun-tahun kontak dengan es dan itu merusak saraf-saraf tangannya.
Cita-cita mami sederhana, ingin ketiga anaknya bisa kuliah dan
menjadi sarjana. Ia berharap masa depan anak-anaknya lebih cerah dari papinya
yang pekerja pabrik ataupun maminya yang bekerja serabutan.
Masa kecil sejak kami SD : sudah "mencari uang dengan jualan
es" membuat kami tangguh, tahan banting. Sambil kuliah, di waktu luang
saya memberi les.pelajaran untuk anak-anak SD & SMP, sedangkan adik
laki-laki saya memberi les bela diri. Kami pun belajar dan mengerjakan tugas
sekolah sambil menjaga warung. Warung mami semakin besar dan beragam barang
jualannya, dari beras, minyak goreng, rokok, sabun, sendal jepit, s.d. plastik
dan kertas bungkus nasi.
Puji Tuhan, semua jerih payah mami tidak sia-sia.
Berbeda dengan tetangga - tetangga kami yang tetap tinggal di
pinggir kali, beranak cucu di situ, kami berhasil keluar dari lingkungan
tersebut dan hidup lebih layak.
Semua
anaknya lulus kuliah, menjadi sarjana Teknik Sipil, Teknik Elektro dan Sarjana
Ekonomi.
Semua anaknya bekerja, menikah, dan mampu membayar cicilan KPR
untuk tinggal di rumah layak, di lingkungan real estate. Mami saat ini sudah
punya 5 orang cucu dan bisa liburan keluar kota dan sekali ke Singapura &
Malaysia.
Semoga didikan mami bisa menjadikan cucu-cucunya tangguh seperti
yang mami lakukan untuk anak-anaknya. Panjang umur ya mami.... God bless you.
Cerita bisa berlanjut ke www.ayamrajawali.blogspot.co.id/2017/03/merangkak-meniti-karier.html
PETA MISTERIUS
Di sekitar gerbang yang lebar tersebut, ada beberapa counter yang menyediakan peta dalam beberapa bahasa, tetapi peta dalam Bahasa Inggris habis. Kami datangi beberapa counter, dan
tetap tidak mendapatkan peta dalam Bahasa Inggris tersebut. Jadi, kami ambil peta
dalam Bahasa China, lumayanlah, bisa lihat gambarnya meskipun tidak
mengerti arti tulisannya.
Semakin jauh meninggalkan gerbang, kedua anak kami
ikut wahana REVENGE OF THE MUMMY, meskipun
antriannya panjang, diperkirakan 60 menit. Saya dan suami menunggu di luar, duduk-duduk
sambil mengamati banyaknya pengunjung
yang lalu lalang, sangat padat karena sedang akhir tahun, peak season.
Saya terkagum-kagum dengan apa yang saya lihat dan berkata dalam hati :
“Tuhan, ini pameran karya tangan-Mu. Engkau sangat kreatif. Segala ras, dari yang kulit sangat pucat sampai yang
hitam legam, dari yang tinggi besar sampai yang berbadan kecil, segala macam warna rambut, semua ada di sini. Sekalipun dari ras yang sama, Engkau pun membuat
tiap-tiap mereka tetap berbeda satu sama lain.
Wow….
Bahasa pun Engkau buat bermacam-macam (saya
teringat menara Babel). Engkau keren ya Tuhan …. meskipun bahasa berbeda, ternyata ada “bahasa universal” yaitu bahasa
tubuh. Semua orang mengerti arti raut muka, senyuman dan lambaian tangan
/ gerakan kepala.
Saya juga terharu melihat keluarga. Ada banyak
keluarga di situ, bahkan sampai 3 generasi. Ada hubungan yang indah antara kakek / nenek –
ayah / ibu dan cucu, apapun ras-nya, apapun bahasanya… Woow, Engkau pasti
menciptakan keluarga karena Pribadi-Mu penuh kasih.
Tiba-tiba, saya melihat peta tergeletak di tengah
jalan. Lho?
Saya menunggu beberapa saat… kalau-kalau orang yang
menjatuhkannya kembali, tetapi tidak ada. Saat saya memungutnya, peta itu dalam Bahasa Inggris
dan benar-benar baru !!
Aneh, bukan? Bagaimana bisa ada di situ? Tidak ada bekas pakai pula.
Peta baru ini membantu kami untuk berkeliling dan menikmati USS, didukung cuaca yang mendung sepanjang hari, tidak terlalu panas juga tidak hujan.
SAMA RATA TANPA SENGAJA
09 Desember 2016, masuk satu pesan WhatsApp dari Pendeta di pulau Rote
:
“…. mau membantu subsidi transport untuk Hamba Tuhan dalam rangka Ibadah Doa
sekalian dengan Ibadah Natal Wilayah?”
Hm …. Natalan kan setahun sekali, jadi saya rasa tidak masalah.
Keesokan paginya saya pergi ke ATM, memasukkan satu
nilai nominal tetapi hati saya langsung gelisah, rasanya seperti ada yang
salah. Lalu saya transaksi ulang dengan nilai nominal yang berbeda, Rp 1.6 juta.
Angka yang baru ini muncul begitu saja, besar juga … tetapi anehnya, hati saya terasa
sejahtera.
13 Desember 2016, ada pesan WhatsApp masuk :
“Sebenarnya saya sudah
siapkan (dalam amplop) lebih karena takutnya lebih dari 16 orang yang akan
dapat … tetapi ternyata yang hadir cuma 15 orang. Saya pikir karena ini
Natal, maka saya kasih merata Rp 100 ribu … jadi masih ada sisa Rp 100 ribu”
Saya lalu bertanya, “Bapak sudah dapat?”
Dia jawab, “Masih ada sisa yang100 ribu ini”
Maka saya berikan Rp 100 ribu terakhir ini menjadi
jatahnya.
Kalau waktu itu saya transfer lebih kecil, maka
Pendeta Panitia ini nombok / tekor.
Ternyata, bisa pas, sama rata – tanpa sengaja.
Terdengar sepele … tetapi saya yakin Tuhan berperan
dalam kejadian ini.
Sabtu, 18 Februari 2017
BURUNG GAGAL TERBANG
Pada suatu sore, saya mengisi waktu senggang di halaman depan rumah. Ada satu pohon Kemuning Kencana yang rindang dan banyak burung tinggal di situ.
Saat saya
asyik mencabuti rumput liar yang tumbuh di antara rumput gajah mini, mata saya
tertuju pada kaki kecil yang terselip di atas rumput … ya kaki burung dengan
badan yang sudah hampir habis dimakan semut-semut! Pembantu yang selama ini
rajin mengurus taman, berkata bahwa itu sudah terjadi berkali-kali …. Burung
gagal terbang!
Saat saya
buka You Tube dan menonton National Geographic Channel, ternyata kejadian burung gagal terbang
memang ada dan kebanyakan terjadi saat mereka belajar terbang.
Saya
teringat dengan Injil Matius 6:26 yang berkata
“Pandanglah
burung-burung di langit, yang tidak menabur dan tidak menuai dan tidak
mengumpulkan bekal dalam lumbung, namun diberi makan oleh Bapamu yang di Surga.
Bukankah kamu jauh melebihi burung-burung itu?”
Kita memang
jauh lebih berharga dari burung-burung itu, tetapi jika burung-burung yang
tidak melebihi manusia saja mau belajar untuk terbang, belajar untuk meninggalkan
sarangnya untuk mencari makan setiap
hari, … mosok kita manusia lebih sering absen
mencari makan, dengan alasan:
- lagi ada keperluan mendadak
- lagi tidak enak badan
- lagi susah bangun
tidur karena cuacanya mendung melulu
- kejebak macet karena bangun kesiangan
(dan hampir tiap hari bangun kesiangan)
- lagi menganggur karena belum dapat
pekerjaan yang cocok banget ….
he he he … kalah sama burung, dong!
Penyebab Anak Durhaka
Seorang karyawan di kantor saya datang terpincang-pincang. Ternyata, pincangnya karena nasi goreng.
Kemarin
mendekati pukul 11 malam, anak satu-satunya merengek minta dibelikan nasi
goreng. Meskipun sudah dibujuk untuk makan apa yang ada di rumah, atau
dibuatkan mie instant, anaknya tetap minta nasi goreng meskipun di luar
sedang turun hujan.
Jadi, meskipun dia sudah sangat lelah dan mengantuk, ia memaksakan diri keluar, hujan-hujanan untuk mencari nasi goreng. Apa daya, saat melewati jalanan yang gelap, becek, dan licin karena hujan turun sejak sore hari, ia terpeleset jatuh.
Kejadian ini
mengingatkan saya akan kejadian di kampung halaman saya di Bandung.
(Silakan baca : Miskin sejak lahir)
Di kawasan
kumuh tempat saya tinggal, ada seorang janda yang mempunyai warung kecil di
depan rumahnya. Ia mempunyai beberapa orang anak tetapi anak bungsulah yang
paling disayanginya. Sejak anak ini kecil, meskipun anak ini belum mengerti
nilai sebuah barang, apakah suatu barang itu perlu atau tidak, apakah barang
itu mahal atau tidak, Ibu ini selalu berusaha memberikan “yang terbaik” untuk
anak bungsunya.
Setelah anak
ini tumbuh besar, ia pun menjadi anak yang trendi. Sepatu dan tas sekolah
pastilah barang dengan model terbaru. Jika trend berubah, meskipun sepatu dan
tas anaknya masih layak pakai, Ibunya akan mengupayakan barang trend terbaru supaya
anaknya tidak ketinggalan
jaman. Bersama berjalannya waktu, anak ini pun mengerti barang KW dan
meminta barang asli karena tidak mau diolok-olok temannya. So, sepatu real NIKE, bukan NIKE-NIKEan.
Saat masuk
SMA, dia minta dibelikan motor. Jaman itu, tahun 1980an, belum ada DP motor
murah seperti saat ini. So, kali ini
permintaannya tidak sanggup dipenuhi oleh Sang Ibu. Anak ini pun marah besar, mengamuk
dan memukuli Ibunya.
Sejak itu,
kejadian Ibu dipukuli oleh anak ini menjadi hal yang berkali-kali terjadi. Sang
Ibu tidak melawan karena merasa dirinya gagal
menyenangkan hati anak. Di sisi lain, abang-abangnya tidak terima dengan
perlakuan kasar yang dilakukan oleh si anak bungsu. Si anak bungsu tidak terima
bila ditegur / dinasehati berlanjut menjadi pertengkaran dan perkelahian
abang-adik.
Selulus SMA,
anak bungsu ini tidak melanjutkan sekolahnya. Ia menjadi preman untuk mendapatkan
uang karena sang Ibu yang semakin tua hanya sanggup memberi makan seadanya.
Suatu hari,
anak bungsu ini dikepung orang banyak dan dipaksa menikahi gadis yang
dihamilinya.
Saat anaknya
lahir dan kebutuhan hidup semakin banyak, ia semakin sering mengamuk, memukuli
Ibu dan istrinya. Berbeda dengan Ibunya yang hanya bisa diam dan menangis, sang
istri tidak tahan, kabur membawa bayinya.
Tidak lama
kemudian, Ibu yang merasa kehilangan cucunya ini jatuh sakit dan meninggal.
Anak bungsu ini pun mati muda karena terlibat premanisme dan narkoba.
Dari cerita tadi, kesan pertama tentulah ANAK DURHAKA.
Tetapi di sisi lain, asuhan Ibu-nya yang membentuk dia menjadi ANAK
MAMI dengan MIMPI-MIMPI INDAH yang dikondisikan oleh Ibunya
sejak dia kecil, berlanjut menjadi KECEWA
dan FRUSTASI, tidak bisa menerima kenyataan hidup yang sebenarnya dan
menjadi MARAH kepada Ibu.
Sebagian besar orang tua pasti sayang kepada anak-anaknya. (Saya tidak pakai kata “Semua” karena nyatanya banyak
bayi yang dibuang / dibunuh oleh orangtuanya karena tidak diharapkan … hiks
hiks tetapi cara membesarkan anak yang salah akan menjadi boomerang untuk
anak dan kembali ke orang tuanya.
Marilah menjadi orang tua yang bijaksana.
"Siapa mengindahkan didikan, menuju jalan kehidupan, tetapi siapa mengabaikan teguran, tersesat." Amsal 10 : 17
"Siapa mengindahkan didikan, menuju jalan kehidupan, tetapi siapa mengabaikan teguran, tersesat." Amsal 10 : 17
Langganan:
Postingan (Atom)